Pada detik yang sama dengan kehadiranmu, kala itu pula semestaku porak poranda
Nafas tak karuan, perut melilit, kaki berat melangkah, mata tak ingin terbuka. Itu semua baru kekacauan fisik. Belum kusebutkan pula angin ribut di hatiku dan gemuruh di pikiranku,serta berbagai hal lain yang melemahkanku.
Detik itu aku muntahkan semua keluhan, aku ingin kembali ke rengkuhan namun aku tahan.
Bingung.
Mengapa setelah sekian kekacauan kita, aku masih terus ingin memanggil namamu, dengan panggilan sayang itu.
Bingung
Mengapa setelah sekian petir dan badai, aku tetap ingin mencarimu.
Bingung
Mengapa setelah ribuan menit terbuang, aku masih ingin menunggumu.
Apalagi kemudian kutahu ketika aku mulai menunggu, kau akan mulai beranjak pergi ketempat lain.
Untuk lagi-lagi membuatku merasa bodoh dan tak berarti.
Membuatku berada di posisi yang sama dengan nestapa dan nostalgia suram yang sudah ku buang.
Aku tak ingin, lagi-lagi menjadi puan yang ditinggalkan, yang sedih menanti dan terus merasa sendiri.
Aku tak ingin, lagi-lagi terbuai janji dan kata-kata. Aku ingin mencintai dan tahu bahwa cintaku berbalas sapa. Aku ingin bergantung, bukan hanya pada janji dan kata, tapi juga pada nyata.
Pada detik ketika kau kembali, semua yang sudah kugenggam erat, perlahan merenggang. Menyediakan ruang untuk tanganmu berlabuh, mengajakku pulang.
Tapi, kurasa rumah kayu kita sudah lama melapuk, terkena air hujan dan waktu yang terbuang.
Kau memunculkan kekacauan
Sekarang aku lihat kamu dimana-mana
Aku lelah, mendengarkan peperangan hati dan pikiran
Aku, mungkin pula kamu, terbuai dalam indah angan-angan.
Pada detik ketika kau kembali. Waktu terasa berhenti. Aku lupa kau sudah tiada. Aku lupa bahwa semua khayalku saja.
Dan aku lupa, bahwa seharusnya, kau kulepas saja
-----
Karena kepemilikan bukan tanda mencinta. Dan yang abadi milikNya saja. Sampai jumpa di alam Sana, mungkin kelak kita bisa bersama.
No comments:
Post a Comment